ADVERTISMENT

img
Info

Analisa dan Potensi Usaha Budidaya Kerang-keranganan di Indonesia

Analisa dan Potensi Usaha Budidaya Kerang-keranganan di Indonesia
Artikel ditulis olehWisnu Saputro

Indonesia merupakan negara maritim, mempunyai jumlah pulau sekitar 17.508 buah, dan 931 buah pulau diantaranya sudah berpenduduk (ditempati). Pulau-pulau tersebut tersebar diantara 95° BT - 141° BT dan 6° LU - 11° LS.

Sampai saat ini produksi perikanan laut di Indonesia masih didominasi oleh hasil tangkapan alam, baik sebagai komoditas pasar lokal maupun ekspor. Produksi hasil tangkapan alam tersebut sampai saat ini juga masih didominasi oleh jenis-jenis ikan.

Sebagai contoh, jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis penting dan berpotensi ekspor antara lain ikan tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), kerapu (Cromileptes altivalis, Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), dan sebagainya.

Sedangkan untuk kekerangan, mayoritas hasil tangkapan alam masih digunakan untuk konsumsi sendiri (kerang pasir, siput mata bulan, dan siput berukuran kecil lainnya), sebagian dijual untuk konsumsi lokal (kerang darah, kerang hijau, kerang bakau dan oyster), dan hanya sebagaian kecil untuk diekspor (batu laga, lola, kima, abalon). 

Kekerangan merupakan kelompok hewan yang berhasil hidup dan berkembang secara luas di muka bumi ini.

Jumlah jenis kekerangan hampir dua kali lipat jumlah hewan bertulang belakang. Kelompok kekerangan tersebut sebagian besar merupakan jenis-jenis yang hidup di perairan asin (laut), baik di wilayah pantai maupun daerah perairan yang lebih dalam (deep zone).

Di muka bumi ini diketahui lebih dari 100 ribu jenis kekerangan, tersebar dari daerah dingin, subtropis dan tropis, pada perairan dangkal (kerang darah, kerang hijau) hingga daerah yang lebih dalam (batu laga, kima).

Dilihat dari ukurannya ada yang sangat kecil (micro-benthos) hingga yang sangat besar (kima raksasa, giant clam). Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi yang besar tentang sumberdaya kekerangan tersebut.

Namun demikian potensi sumberdaya kekerangan yang besar tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Mengingat kandungan gizinya yang sangat tinggi, >50% protein, 5% lemak, dan 5% kadar abu, sudah saatnya sumberdaya ini dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Perubahan pola makan masyarakat dunia dari mengkonsumsi daging merah (ayam, sapi, babi, dan hewan darat lainnya) ke daging putih (produk laut) juga memberikan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan usaha di bidang perikanan khususnya usaha budidaya kekerangan.

Perbedaan Kerang dan Siput

siput

Secara umum kekerangan merupakan kelompok hewan tidak bertulang belakang (avertebrata), sebagian besar dicirikan dengan adanya cangkang yang melindungi tubuhnya, dan hanya sebagian kecil jenis yang tidak bercangkang.

Hewan yang bercangkang ganda kita sebut sebagai kerang (bivalvia) sedangkan yang bercangkang tunggal kita sebut sebagai siput (gastropoda). Kerang (bivalvia) diketahui mendominasi jumlah atau kepadatan individu di muka bumi ini.

Namun demikian dari jumlah jenis, siput (gastropoda) didapati paling banyak dijumpai di bumi ini. Warna dan bentuk cangkang sangat bervariasi, tergantung pada jenis, habitat dan jenis makanannya. Pada beberapa jenis, pada bagian dalam cangkangnya terdapat lapisan mutiara yang mengkilap/ berkilau.

Misalnya pada oyster, abalon, dan kima. Secara umum bagian tubuh kekerangan dibagi menjadi lima, yaitu (1) kaki (foot, byssus), (2) kepala (head), (3) bagian alat pencernaan dan reproduksi (visceral mass), (4) selaput (mantle), dan (5) cangkang (shell).

Peningkatan jumlah penduduk dunia dan perubahan pola makan dari mengkonsumsi daging hewan darat berganti ke menu ikan termasuk kekerangan, mendorong manusia untuk berusaha meningkatkan produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.

Kebutuhan konsumen akan produk perikanan termasuk kekerangan terus meningkat, baik kebutuhan di pasar lokal (Surabaya, Makassar, Jakarta, Medan, Batam) maupun di pasar internasional (Singapura, Hongkong, Jepang, Amerika dan Eropa).

Peningkatan permintaan pasar berarti peluang bagi pengusaha di bidang perikanan untuk mengembangkan usahanya. Kesadaran penduduk dunia akan 'green product' yaitu makanan yang diproduksi tanpa banyak menggunakan bahan kimia dan pestisida akan memberikan peluang yang baik bagi usaha budidaya kekerangan di Indonesia mengingat kualitas perairan di Indonesia yang umumnya jauh dari pencemaran (Perairan Indonesia Timur).

Produksi

Meskipun produksi perikanan dunia terus meningkat, namun kebutuhan pasar belum juga terpenuhi.

Sebagai contoh, produksi perikanan dari sektor akuakultur (budidaya) di Indonesia telah mengalami peningkatan sebesar 8,6% per tahun, yaitu dari 597,5 juta ton pada tahun 1994 menjadi 926,3 juta ton pada tahun 2000.

Peningkatan yang hampir dua kali lipat dalam jangka waktu yang relatif pendek (kurang dari 10 tahun) tersebut belum juga mengakibatkan pasar jenuh. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar untuk pengembangan usaha perikanan termasuk perikanan kekerangan masih terbuka.

Produksi perikanan kekerangan di Indonesia masih didominasi oleh hasil tangkapan alam, dan jenis kerang darah (Anadara spp) masih menduduki rangking pertama (73%) dari total produksi kekerangan di Indonesia (FAO, 1996).

Aspek Gizi

Kekerangan merupakan jenis makanan laut yang banyak digemari oleh konsumen karena kelezatan rasanya dan mengandung nilai gizi yang tinggi. Bahkan beberapa jenis kerang dan siput laut dipercaya bisa meningkatkan stamina, misalnya daging kima dan abalon.

Terlepas dari mitos tentang kasiat daging kerang dan siput, DODY (2004) menyatakan bahwa dari hasil uji/test laboratorium (uji proksimat) diketahui bahwa 57% daging limpet merupakan protein, 5 % lemak, 5 % abu, dan sisanya adalah air.

Kandungan gizi yang tinggi dan perubahan pola diets penduduk dunia memberikan peluang yang baik bagi pengembangan usaha perikanan kekerangan.

Usaha Budidaya

Usaha budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota air (termasuk di dalamnya: pemeliharaan, penanganan, pengolahan, dan pemasaran) untuk tujuan komersial.

Di Indonesia beberapa jenis kekerangan telah berhasil dibudidayakan, baik dalam skala rumah tangga (kecil) maupun skala industri (besar). Budidaya skala rumah tangga biasanya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, misalnya budidaya kerang darah dan kerang hijau.

Sedangkan budidaya skala industri biasanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, misalnya budidaya kerang mutiara, siput lola dan abalon. Penentuan Lokasi Usaha budidaya merupakan salah satu kegiatan bisnis yang memerlukan modal, ketrampilan, ketekunan, dan kemampuan memprediksi perkembangan pasar.

Usaha budidaya akan berkaitan dengan beberapa disiplin ilmu dan pengetahuan, antara lain perikanan, biologi, hukum, teknik dan ekonomi. Selain aspek personil (manusia) dan ekonomi (permodalan), penentuan lokasi untuk usaha budidaya juga harus memperhatikan keamanan, baik keamanan bagi pekerja maupun keamanan unit usaha (bangunan, peralatan, dan hewan yang dipelihara).

Selain itu, prasarana dan sarana perhubungan dan komunikasi juga perlu dipertimbangkan (SETYONO, 1997). Usaha budidaya tidak terlepas dari kebutuhan air sebagai media tempat hidup hewan yang dipelihara. Debit dan kualitas air akan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan hewan yang dipelihara.

Khusus untuk "onland farming" atau budidaya sistim kolam dan bak yang dibangun di darat, maka sumber air (kuantitas dan kualitas) harus mendapat perhatian utama.

Sedangkan untuk budidaya di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain kondisi air (kualitas) in situ juga perlu diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan, salinitas (kadar garam), pH (keasaman), kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, batu). Kondisi lingkungan tersebut tentunya akan berkaitan erat dengan teknik budidaya yang akan dipilih.

Prasarana Budidaya

Prasarana budidaya kekerangan tergantung dari teknik budidaya yang dipilih.

Untuk sistem kolam dan bak yang dibangun di darat tidak diperlukan kantong atau tempat untuk menaruh hewan yang dipelihara. Hewan dilepas langsung di dalam kolam atau bak dan diberi makan.

Namun demikian, untuk mengefisienkan penggunaan area, di dalam bak bisa diberikan blok-blok semen sebagai tempat menempel dan bersembunyi. Sebagai contoh, penambahan blok-blok semen dipraktekkan pada budidaya abalon di kolam/bak.

Untuk budidaya kekerangan di laut diperlukan wadah khusus sesuai dengan jenis kerang/siput dan teknik budidaya yang dipilih. Sebagai contoh, untuk kerang hijau diperlukan tali dan tonggak untuk menempel, diperlukan keranjang untuk menempatkan oyster, dan diperlukan drum serta pipa PVC sebagai shelter untuk budidaya abalon.

Penyediaan Benih

Benih untuk usaha budidaya dapat diperoleh dari tangkapan alam, baik dengan memasang spat kolektor di alam (oyster, kerang hijau) maupun menangkap anakan dari alam (lola, abalon, kima).

Selain itu beberapa jenis kerang dan siput telah berhasil dipijahkan di laboratorium (hatchery), misalnya oyster, kima, batulaga, lola dan abalon. Untuk menjaga kualitas dan kekontinyuan usaha sebaiknya benih dipesan dan dibeli dari panti benih (hatchery).

Benih kekerangan biasanya diangkut dalam kondisi tanpa air (lembab). Untuk jenis kerang (oyster, kima), benih disusun dan dibungkus dengan handuk basah, dimasukkan dalam box dan diangkut dalam suhu rendah (dingin).

Untuk jenis siput (batulaga, lola, abalon), benih disusun dalam box, dilapisi dengan makro-algae (Gracilaria spp), dan ditransportasikan dalam kondisi dingin. Dengan sistem tersebut benih mampu bertahan dalam kondisi baik selama 6-12 jam sebelum benih dibuka dan dimasukkan ke air di dalam kolam pembesaran.

Teknik Budidaya

Ada dua cara memproduksi kekerangan sebelum dipanen dan sampai ke konsumen. Pertama, benih kekerangan (baik hasil koleksi alam maupun pemijahan di panti benih) dilepas atau ditebar pada lokasi atau area yang dilindungi untuk jangka waktu tertentu sebelum akhirnya dipanen dan dijual ke konsumen.

Kedua, benih kekerangan dipelihara dan dibesarkan secara komersial menggunakan wadah dan teknik tertentu sampai mencapai ukuran yang layak dijual ke konsumen.

Penentuan teknik budidaya kekerangan sangat tergantung pada kondisi ekonomi (permodalan), ekologi (lingkungan), geografi, dan bahkan kondisi politik (keamanan).

Ada tiga teknik budidaya kekerangan, yaitu

  1. budidaya di darat di dalam kolam atau bak (land based farming),
  2. pembesaran dalam kurungan (containment rearing), dan
  3. pemeliharaan di dasar laut (ocean-floor or sea ranching).

'Land based farming' memerlukan biaya investasi yang tinggi guna membangun fasilitas budidaya (gedung, kolam, peralatan, pompa air dan udara), biaya operasional dan tenaga kerja tinggi. Kerusakan fasilitas dan peralatan akan berakibat fatal.

Namun demikian, teknik ini sangat baik dan mudah untuk melakukan kontrol terhadap hewan yang dipelihara serta memberikan hasil yang lebih pasti. Keuntungan teknik "containment rearing" antara lain, biaya investasi dan operasional relatif rendah, dapat dipilih lingkungan yang sesuai, hewan terlindungi dari predator, makanan dapat dikontrol secara optimal, dapat dilakukan polikultur, dapat dipelihara dengan kepadatan tinggi, mudah dalam pemanenan, dan jelas kepemilikannya.

Namun demikian, teknik ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu pemberian makanan memerlukan teknik tertentu, sulit dalam melakukan perawatan kurungan, kemungkinan kurungan dapat hilang karena badai atau dicuri, dan beberapa problem yang berkaitan dengan biota pengotor (fouling organisms).

Teknik ketiga (ocean-floor or sea ranching) merupakan teknik yang tidak ideal meskipun teknik ini tidak memelukan biaya investasi bangunan dan peralatan serta tidak memerlukan biaya untuk energi (listrik).

Teknik ini mempunyai beberapa kelemahan termasuk kesulitan di dalam menempatkan benih pada substrat di dasar perairan, kesulitan pada saat panen, kehilangan hewan akibat kematian dan bencana alam (badai) sangat tinggi.

Panen dan Pasca Panen Panen dilakukan pada saat kerang dan siput telah mencapai ukuran layak jual. Panen dilakukan dengan mengeringkan kolam/bak atau mengangkat tali dan kurungan yang ada di laut.

Untuk kerang yang dipelihara di perairan pantai (kerang darah), panen dilakukan pada saat air laut surut rendah dengan menggali pasir dimana kerang tersebut bersembunyi.

Kerang dan siput hasil panenan segera disemprot dengan air laut untuk membersihkan lumpur, pasir, serta kotoran lainnya yang menempel di cangkang. Setelah dibersihkan dari kotoran luar, hasil panenan kemudian diproses sesuai dengan jenis dan kebutuhan konsumen.

Misalnya untuk kerang darah dan kerang hijau dapat langsung dijual dalam bentuk segar (hidup) atau direbus untuk kemudian diambil dan dijual dagingnya. Untuk abalon, setelah dicuci kemudian direndam dalam larutan garam jenuh, dibuang cangkangnya, dicuci dan ditiriskan sebelum diekspor.

Kekerangan yang akan diambil cangkangnya tidak boleh dilakukan perebusan atau penjemuran. Setelah dipanen kerang atau siput yang akan diambil cangkangnya dikubur di dalam pasir yang bersih selama beberapa hari sampai dagingnya membusuk.

Setelah semua dagingnya membusuk, kekerangan diangkat, dicuci dan dikering-anginkan sebelum dijual. Analisa Usaha Sebagian besar produksi kekerangan saat ini adalah berasal dari hasil tangkapan alam, sehingga belum ada analisa usaha budidaya.

Namun demikian, sebagai informasi tambahan, analisa biaya untuk memproduksi benih siput lola (Trochus niloticus) di BPPSDL-LIPI Ambon, Maluku dapat dipakai sebagai acuan untuk menghitung biaya produksi benih siput laut lainnya (batulaga, abalon).

Untuk menghasilkan benih siput lola umur 1 tahun diperlukan biaya Rp 778,- per ekor. Sedangkan untuk memelihara anakan siput di dalam kurungan di laut diperlukan biaya Rp 1.493,- per ekor.

Pada tahun ketiga batulaga dan lola dilepas di alam (tanpa kurungan) dan dipanen setelah berumur sekitar 4-5 tahun. Biaya tersebut tentunya sangatlah kecil bila dibandingkan dengan nilai jual cangkang lola dan batulaga.

Pada tahun 1998 nilai jual per kg cangkang di Ambon adalah sekitar Rp 30-40 ribu untuk lola dan Rp 60-90 ribu untuk batulaga. Di Lombok, NTB pada tahun 2000, abalon hasil tangkapan alam dijual dengan harga Rp 25.000,- (cangkang dan daging), sedangkan dagingnya saja dijual dengan harga Rp 125.000,- per kg.

Abalon budidaya dapat dipanen pada umur sekitar 2-3 tahun (1 kg berisi 15 ekor). Melihat tingginya nilai jual produk kekerangan tersebut, tentunya bisa diprediksi bahwa biaya produksi benih dan pembesaran anakan tidak akan terlalu mahal.

Namun demikian, jangka waktu pemeliharaan yang relatif lama membuat investor kurang tertarik untuk berinvestasi pada usaha budidaya kekerangan.

Komentar

Yuk, ngobrol dan sharing pendapat dengan juragan lainnya.

Artikel Terkait

ADVERTISMENT

img

AnekaUKM - One-stop Solution for SMEs

Copyright © 2024 AnekaUKM. All rights reserved.