ADVERTISMENT

img
Info

Potensi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Indonesia

Potensi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Indonesia
Artikel ditulis olehWisnu Saputro

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan spesies asli perairan Pasific, yang banyak ditemukan di pantai Barat Meksiko hingga Peru.

Udang ini mulai diperkenalkan untuk dibudidayakan di Asia pada tahun 1996 di Taiwan dengan mengimpor calon induk vaname dari Hawaii. Selanjutnya upaya ini menjalar ke Cina, Myanmar, Indonesia dan dibeberapa negara di Asia Tenggara.

Udang vaname memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan spesies lainnya, beberapa keunggulan tersebut, antara lain:

  • Laju pertumbuhan mencapai 1-1,5 gr/ minggu
  • Bisa dibudidayakan dengan padat penebaran tinggi (80 – 500 ekor/m2 )
  • Toleran terhadap salinitas (0,5 – 45 %0)
  • Kebutuhan protein pakan lebih rendah (20 – 30%) dibandingkan spesies lain
  • FCR lebih rendah (1: 1.1-1.2); - Ukuran panen seragam; dan jumlah yang under size rendah

Budidaya udang vaname di Indonesia saat ini merupakan andalan sektor perikanan budidaya dan menjadi prioritas pengembangan akuakultur untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Dalam periode 2012 - 2018 kontribusi nilai ekspor udang terhadap nilai ekspor perikanan Indonesia rata-rata mencapai 36,27 % (BPS, 2019). Artinya komoditas udang memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap kinerja ekspor komoditas perikanan Indonesia.

Produksi udang dunia berdasarkan FisStat pada tahun 2019 tumbuh rata-rata 5,39% per tahun dengan di dominasi produksi berasal dari perikanan budidaya sebesar 9,59 % per tahun dan dari perikanan tangkap mencapai 0,92 % per tahun.

Produksi udang budidaya secara nasional meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir dengan produksi 638.955 ton pada tahun 2013 menjadi 920.051 ton pada tahun 2017 dengan rata-rata kenaikan per tahun sebesar 10,38%.

Pada tahun 2018 tercatat volume ekspor udang sebesar 197,43 ribu ton dengan nilai USD 1.742,12 juta.

Pada periode tahun 2019 capaian produksi udang 517.397 ton dan ditargetkan mengalami kenaikan sebesar 250 % pada tahun 2024 menjadi sebesar 1.290.000 ton dengan nilai produksi dari 36,22 Trilyun pada 2019 menjadi sebesar 90.30 Trilyun pada 2024.

Sebaran Potensi dan Peta Sentra Produksi

Potensi sumberdaya akuakultur Indonesia sangat besar, total luas lahan indikatif mencapai 17,2 juta hektar dan diperkirakan memiliki nilai ekonomi langsung sebesar USD 250 milyar per tahun.

Dari potensi itu, khusus untuk pengembangan budidaya air payau memiliki porsi potensi hingga mencapai 2,8 juta hektar. Namun pemanfaatannya diperkirakan baru sekitar 21,64 % atau seluas 605.000 hektar, dimana dari luas tersebut pemanfaatan lahan tambak produktif untuk budidaya udang diperkirakan mencapai 40% atau baru 242.000 hektar saja.

Saat ini jumlah petambak yang bekerja pada sektor budidaya air payau mencapai 389 ribu orang. Jumlah petambak atau sumber daya manusia yang dibutuhkan bekerja pada sektor ini akan terus meningkat dengan program peningkatan produksi perikanan hingga tahun 2024 terutama produksi udang yang akan menargetkan penambahan luas lahan 100.000 hektar.

Budidaya udang vaname di Indonesia sudah berkembang pesat di sentra produksi perikanan seluruh wilayah Indonesia dan akan dikembangkan di beberapa wilayah baru terutama di wilayah Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku dan Maluku Utara.

Saat ini produktivitas budidaya udang vaname berkisar antara 10 – 50 ton/hektar/siklus tergantung model budidaya yang dikembangkan mengikuti kemajuan teknologi dari sistem semi intensif hingga super intensif.

Peluang Pengembangan Berdasarkan Pasar

Menurut Research and Markets 2021, Pasar udang global bernilai USD 39,24 juta pada 2019 yang diproyeksikan tumbuh 1,5% per tahun dengan volume 4,2 juta MT pada tahun 2019 dan diproyeksikan tumbuh dengan estimasi 1,4% per tahun.

Menurut data BPS tren ekspor udang indonesia 2015 – 2019 memiliki tren positif dengan kenaikan volume 4,21 % dan kenaikan nilai 0,55 % (BPS, 2019). Pasar dunia diperkirakan membutuhkan 13 sampai 15 juta ton pasokan udang per tahun dengan suplai yang sudah terpenuhi berdasarkan data 2017 sebesar 8,77 juta ton dan didominasi oleh sektor budidaya sebesar 6,09 juta ton.

Berdasarkan data International Trade Center, kontribusi nilai ekspor produk udang Indonesia tahun 2018 terhadap total nilai ekspor udang dunia mencapai 6,84 % dan menduduki posisi 5 terbesar dunia setelah India (18,63 %), Ekuador (12,96 %), Vietnam (12,75 %) dan China (9,01 %).

Dengan luas lahan budidaya yang baru termanfaatkan hanya 21,64 %, dan permintaan udang dunia yang sangat besar maka Indonesia sangat potensial menjadi pemasok utama udang dunia.

Kendala dan Solusi Dalam Budidaya Udang

Secara umum, produksi udang global telah stabil tetapi wabah penyakit yang serius telah menyebabkan kerugian yang luas bagi tambak di negaranegara seperti India, Vietnam, dan Thailand. Kendala budidaya udang di Indonesia, antara lain:

Serangan penyakit, dapat diatasi dengan menerapkan sistem budidaya udang yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip biosecurity dan keamanan pangan.

Permodalan dan teknis, dapat diatasi dengan kolaborasi antara pemerintah dan perbankan. Permasalahan teknis produksi dapat diatasi dengan memaksimalkan peran institusi riset untuk mengatasi masalah teknis produksi yang penerapannya langsung di masyarakat.

Regulasi yang rumit yang menyebabkan industri udang lambat dalam ekspansi/ pengembangan usaha. Diatasi dengan adanya sinergitas antar lembaga untuk penyederhanaan ijin dan moratorium penindakan ijin usaha tambak.

Pembangunan infrastruktur yang tidak merata di berbagai sentra tambak udang dan kurangnya integrasi antara pemroses di hilir dan petambak di hulu. Pemerintah perlu membangun infrastruktur yang mendukung sektor swasta agar lebih tertarik untuk berinvestasi pada sektor budidaya udang.

SDM dan keterlibatan kaum muda untuk bekerja di dunia perudangan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mengembangkan unsur teknologi digital dalam budidaya udang yang saat ini menjadi tren bagi kaum milenial dalam melakukan pekerjaan di berbagai bidang.

Teknologi MSF

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan peningkatan produksi udang nasional sebesar 250% dalam lima tahun ke depan (2019- 2024). Untuk mencapai target tersebut harus didukung dari berbagai aspek salah satunya adalah pemanfaatan teknologi digital.

Pemanfaatan teknologi digital sangat erat hubungannya dalam era Revolusi Industri ke-4 atau lebih dikenal dengan nama Industri 4.0.

Salah satu program KKP yang mengusung semangat Industri 4.0 adalah pembangunan Millenial Shrimp Farming (MSF) atau generasi milenial bertambak udang.

Program ini dilaksanakan sebagai upaya pemerintah untuk melibatkan kaum milenial untuk mencoba mengembangkan budidaya udang. Model tambak ini diyakini cocok untuk generasi milenial dalam hal kepraktisannya untuk berbudidaya saat ini.

Berbeda dengan tambak konvensional, model tambak ini tidak membutuhkan lahan luas, berbentuk bulat, fleksibel karena bisa dibongkar pasang dengan ukuran kolam yang bisa disesuaikan dengan lahan yang ada.

Keunggulan Teknologi MSF

Pembangunan MSF salah satunya di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo. Konsep pelaksanaan progam ini adalah tambak kluster sebagai pusat pelatihan bagi kaum milenial untuk berlatih budidaya udang.

Keunggulan utama dari tambak MSF adalah sistem pencatatan data secara digital sehingga setiap mengambil keputusan didasarkan pada data teknis yang terukur.

Digitalisasi ini juga didukung oleh aplikasi budidaya berbasis data (smart farming). Disamping keunggulan dalam sistem pencatatan data, juga unggul dalam beberapa aspek yaitu:

  • Aspek Lingkungan - MSF yang telah dibangun di lengkapi dengan sistem instalasi pengolah air limbah (IPAL) budidaya udang sehingga air buangan limbah relatif aman bagi lingkungan. Disamping itu dapat meminimalisir konflik kepentingan (konflik sosial) dengan usaha budidaya perikanan lainnya atau masyarakat sekitar MSF.
  • Aspek Ekonomi - Pembangunan MSF di masyarakat dapat diterapkan dengan skala yang kecil hingga skala besar, sehingga setiap orang dapat berkesempatan untuk menerapkan teknologinya sesuai dengan skala modal yang dimiliki. Biaya investasi yang dibutuhkan juga lebih murah karena konstruksi MSF lebih fleksibel yang bisa dibongkar pasang. Biaya investasi yang murah memungkinkan keuntungan yang dihasilkan menjadi lebih besar.
  • Aspek Sosial - Pelaku usaha tambak pada saat ini mayoritas merupakan petambak yang sudah lama menekuni usaha tersebut serta menjadi usaha turun temurun, selain itu didominasi oleh petambak yang memiliki modal besar. Teknologi MSF ini dapat mendorong SDM generasi milenial, untuk dapat berusaha atau berbisnis di sektor budidaya udang dengan skala yang lebih masif di masyarakat, sehingga penyerapan tenaga kerja lebih meningkat. Hal ini tidak terlepas dari gaya bekerja kaum milenial yang cenderung memanfaatkan teknologi digital di semua aspek pekerjaan.
  • Perbandingan MSF dengan Teknologi Konvensional - Keunggulan utama dari MSF adalah sistem pencatatan data secara digital sehingga setiap pengambilan keputusan didasarkan pada data teknis yang terukur. Penerapan teknologi digital meliputi pengecekan kualitas air, biomass, pakan harian, serta pertumbuhan harian. Digitalisasi ini juga didukung oleh aplikasi budidaya berbasis data (smart farming).

Komentar

Yuk, ngobrol dan sharing pendapat dengan juragan lainnya.

Artikel Terkait

ADVERTISMENT

img

AnekaUKM - One-stop Solution for SMEs

Copyright © 2024 AnekaUKM. All rights reserved.